HOW TO TRAIN YOUR DRAGON 2 (TRAILER)
SO EXCITED OMG
- - - - - - - - - - -- - - - - -- - -
How to Train Your Dragon © Cressida Cowell, Dreamworks Animation
SO EXCITED OMG
- - - - - - - - - - -- - - - - -- - -
How to Train Your Dragon © Cressida Cowell, Dreamworks Animation
` One `
Arinia Dee
K+
Angst/Hurt/Comfort
Summary: One plus one
is equal something that a lot bigger than two. Remember that, Toothless.
Jika ia bilang ia tak memikirkan tentang kakinya yang hilang dan
tergantikan oleh besi hitam, maka ia bohong.
Mungkin ada sedikit bagian dalam dirinya yang masih tidak bisa terima,
menjadi cacat walaupun untuk menyelamatkan Toothless dan warga desanya dari
seekor naga raksasa yang sepertinya menjadi lanun bagi naga-naga kecil lain dan
menyusahkan mereka dan berdampak kepada persediaan makan warga desa. Yah,
rantai makanan.
Orang-orang desa bilang hal tersebut sesuai dengan hasilnya, perjuangan
yang berakhir sempurna dan membuatnya menjadi pahlawan dunia. Serta
mendewasakannya dengan cara yang jauh lebih hebat dibandingkan
pahlawan-pahlawan Viking lain yang pernah ada. Astrid ikut berkata, tidak apa-apa,
semua akan baik-baik saja, seakan-akan dapat membaca pikirannya. Dan
Toothless... Toothless seperti mengingatkannya pada hari dimana ia harus
menerima kenyataan yang tengah dihadapinya sampai sekarang hanya dengan menatap
kaki mesinnya dengan pandangan mengiba. Sungguh, sungguh menyengsarakan.
Ia tahu mengeluh akan kejadian yang telah terlewat hanyalah membuang
waktu yang berharga. Menatap dengan kelopak mata yang turun pada bagian lutut
kirinya sama sekali tidak berguna, hanya menambah kekecewaan tersebut menjadi
semacam bola salju raksasa yang menghantamnya dalam sekali lemparan. Namun
terkadang, ia tidak bisa. Kadang ada saatnya ia ingin melampiaskannya dengan
cara yang konyol, walau ia kembali mengurungkan diri jika seseorang ataupun
Toothless kembali melemparkan pandangan itu. Pandangan yang seperti tahu apa
yang tengah ia pikirkan. Terutama Astrid.
Ia tidak mau dikasihani dengan cara seperti itu. Tidak.
“Tidak. Aku tidak apa-apa, Toothless.”
Senyumnya mengembang pelan, mengelus kepala licin makhluk didepannya
dengan sayang. Kemahirannya dalam menyembunyikan perasaan tampaknya melemah.
Segera ia perbaiki emosi yang tergambar diwajah, agar tak lagi terbaca oleh si Night Fury kawannya ini.
Hatinya meremuk ketika Toothless kembali memberikan tatapan itu. Ia
tutup matanya perlahan, lalu berbalik dan mengalihkan pandangan menuju langit
biru jauh dibelakang. Angin menyibak rambutnya pelan, menjauhkan beberapa anak
rambut kesisi kiri lalu bergoyang. Menggelitik ujung hidung. Namun, tatapannya
tetap mengelana hingga ke ujung horizon dunia, bergaya macam seorang pelaut
yang sedang berusaha mencari pulau terdekat.
“Ayo terbang, Toothless.”
Geraman dari tenggorokan dan sedikit dorongan dari samping badan
membalas perintah yang lebih mirip permintaan itu. Ia melompat, mengepas lubang
bagi kaki mekaniknya, memainkan tuasnya beberapa kali, sekedar mengecek. Lalu,
kepala merahnya mengangguk, memberi aba-aba.
“Siap?”
Tidak perlu dikatakan dua-tiga kali. Secepat kilat, naga hitam itu
melaju dari atas tebing hingga berhasil terbang diantara langit dan lautan.
Awan senja menyambut, membentuk bumbungan gunung merah lembut dari kumpulan uap
air ditanah juga laut. Tampak matahari berusaha terbenam diantaranya, memberikan
berkas-berkas sinar terakhir sebelum pergi kesebelah bagian lain dari dunia.
Sungguh senja yang menenangkan.
Dan sungguh saat yang tepat untuk tenggelam.
Hari berubah malam sebelum mereka sempat kembali pulang. Ia menghela
napas, lalu menyuruh Toothless untuk berhenti sebentar. Berpikir bahwa tidak
salah juga jika sesekali mereka menginap di alam liar. Hutan tempat mereka
berhenti tampak senyap dan tak berbahaya, dan lagi, ia benar-benar tidak ingin
kembali untuk saat ini.
Termakan pemikirannya sendiri. Ia tahu itu bukan sesuatu yang sehat,
namun ia tidak bisa bersikap lain selain menyerah tanpa berdebat.
Karena, tanpa bisa menolak, hatinya melemah tanpa sebab.
Atau itulah hal yang ingin ia percayai.
Sembari menyiapkan semak-semak dan selimut pilinan daun sebagai
pelindung dari cuaca malam hari, Hiccup membiarkan Toothless bermain-main
disebuah lapangan ilalang dimana rumput liar yang membuatnya kecanduan tumbuh
begitu banyak. Membiarkannya sibuk dengan persiapannya dan segala masalah yang
kini tengah ia pikirkan sedari awal. Walau Toothless pasti tidak benar-benar
berniat begitu ketika meninggalkannya menuju padang ilalang itu, pasti bukan.
Kekuatan rumput liar kesukaannya hanya tidak bisa ditolak dengan
gampang.
Namun, pikiran bahwa Toothless tengah memberinya waktu untuk menggali
semua unek-uneknya sampai selesai membuatnya tersenyum geli. Mungkin, mungkin
saja... yah, ia hanya bisa menebak-nebak dan berharap.
Karena, satu, cukup satu orang saja (atau makhluk, terserah) yang mau
memberinya masa untuk menenangkan diri tanpa melempar tatapan mengiba, sudah
merupakan kemewahan tak terhingga baginya.
Ia bersyukur ia bisa berada diluar saat ini. Sangat.
Tenda darurat yang ia buat tepat dibawah sebuah goa yang dikelilingi
banyak pohon oak ia pandangi dengan bangga. Tidak ingin diganggu barang
sejenak, ia biarkan dirinya terlelap tanpa memanggil Toothless untuk ikut tidur
bersamanya. Naga itu pintar, pasti dia akan tahu saja dimana ia berada kini.
Dan, masa-masa merenungnya belum juga selesai.
Ia pegangi kaki kirinya yang tak lagi lengkap. Merasakan kasarnya besi
baja yang menggantikan sebagian daripadanya. Tidurnya menggulung merangkul
lutut, hingga kepalanya tersembunyi diantara keduanya, hingga tangannya masih
juga meraba-raba kaki mekaniknya dalam gerak lamban.
Hingga kesunyian juga ikut merangkulnya bagai pelukan seorang Ibu,
kemudian, tangisnya pecah.
Ia tak tahu kenapa. Atau benarnya, tidak ingin tahu karena apa.
Tangisnya teredam oleh tebalnya kain celana yang ia kenakan, namun... hatinya
berteriak lebih keras dari lolongan serigala yang terdengar diluar. Tangan yang
tengah meraba itu tiba-tiba mencekik, menggenggam erat lekukan besinya hingga
tiap buku-buku jari berubah putih.
Putih, seputih isi kepalanya kini. Ia berhenti berpikir, berhenti
mengingat-ingat. Walau rasa sakit itu masih juga mengekangnya dalam kerangkeng
ketidakberdayaan. Ia gagal untuk bersikap tenang, menguasai diri. Gagal
memenangkan pertempuran yang selalu dihadapi setiap orang. Dirinya hancur,
sedikit demi sedikit, dan itu hanya karena ia tidak mampu menghadapi rasa iba
orang lain yang ditujukan kepadanya.
Ia hanya tidak mau dikasihani! Apakah hal itu terlalu susah untuk
disadari setiap orang? Apakah ia hanya terlalu lemah dalam menunjukkan
ketidaksukaan itu kepada yang lain? Ia tahu, ia tahu, ia cacat sekarang. Itu kenyataan yang tidak bisa diubah. Bahkan jika
ada yang dapat melakukan transplantasi kaki sekalipun.
Namun, bagian yang hilang tetaplah hilang. Dan tidak bisa kembali lagi.
Bagian dari hukum alam yang sadis. Ia sadar bahwa tidak ada yang dapat mengubah
takdir ini sekalipun takdirnya kini telah membawanya menjadi orang yang lebih
berguna dari dirinya yang dulu. Hal paling tinggi yang bisa diharapkan oleh
seseorang. Menjadi lebih bisa diandalkan.
Tapi... tapi... Apakah salah jika ia merasa sedih karenanya? Walau ia
bilang ia tidak ingin dikasihani (dan itu masih menjadi alasan nomor satu),
apakah tidak baik bila ia berharap jika saja ini semua tidak pernah terjadi?
Tidak melawan naga raksasa, tidak pernah menaklukan naga-naga tanpa membunuh
atau menyakiti mereka...?
Tidak pernah bertemu dengan Toothless?
Ketika pikiran itu terbersit, beban berat setara kayu gelondong menindih
lengan dan tubuh bagian kirinya. Sesuatu yang... hangat menempel dibelakang,
membuatnya terkesiap. Kaget, siapa kiranya yang tengah merangkulnya ini.
“T-Toothless?”
Hewan hitam itu mendengkur, memperkuat genggaman lengan. “Wah!” Hiccup tidak
siap dengan rangkulan itu, hingga mengubah posisi tidur miring yang sedari tadi
ia lakukan. Namun, percuma juga ia berusaha melepaskan diri, kekuatan Toothless
semakin bertambah seiring semakin manjanya ia terhadap orang desa. Dan
karenanya, banyak orang desa yang jatuh atas akal bulus itu hingga jatah makan
diluar jam rutin naga hitam ini bertambah pula.
“Tooth- Toothless, lepas―”
Percuma. Tampaknya naga itu mulai terlelap tidur dengan sebelah lengan
(atau kaki?) melingkari sebagian badannya. Hiccup menghela napas, lalu terceguk
air mata yang masuk kedalam mulutnya. Membuatnya terbatuk-batuk tak lama
kemudian.
“Dasar kau...”
Dan dengkuran Toothless masih tetap ada. Menggetarkan tulang rusuknya.
Cahaya bulan hanya dapat menembus hingga bagian depan gua dan ia tidak punya
peralatan yang dapat membuat api, sehingga tampang Toothless tak benar-benar
terlihat diantara kelam malam dan gua yang kosong gelap.
Tapi, ia yakin. Yakin seyakin-yakinnya, ia melihat sekelebat dua pasang
mata, campuran kuning topaz dan hijau zamrud, menatapnya intens, lalu kembali
ditutupi kelopak mata berwarna arang untuk kembali terlelap.
Tatapan yang seperti ingin bilang, ‘kau... tidak sendiri’?
Ia terdiam. Cukup lama. Sangat lama hingga tidak menyadari bahwa kini
Toothless tak lagi melingkarkan lengan padanya dan lebih memilih menaruh
sepasang kaki depan itu dibawah kepala. Sang Night Fury masih berada dibelakangnya, tenggelam dalam alam lelap
karena kelelahan. Dan, sekali lagi, ia tolehkan kepalanya untuk memperhatikan
hewan peliharaannya itu.
Jika kau bisa berbicara, apa yang akan kau katakan
padaku?
‘Apa yang akan kau akan katakan padaku’, batinnya penuh harap. Ia angkat
sebelah tangan yang ia gunakan untuk meraba kaki mekaniknya sebelumnya, untuk
menyentuhkan telapak tangan disisi kiri moncong Toothless. Mengelusnya dari
depan ke belakang, gerakan yang hampir sama dengan apa yang ia lakukan untuk
kaki kirinya barusan.
Bagai keajaiban, atau ketidaksengajaan yang menyadarkan pikiran, ekor
legam tertangkap sudut matanya. Bergerak meliuk, memberi tanggapan atas
sentuhannya, sebelum kembali melekuk diujung kakinya. Kaki kirinya.
Persamaan nampak di sana. Walau tak begitu kentara. Kesamaan yang hampir
membuat jantungnya berhenti berdetak. Kesamaan yang hampir tidak ia sadari
keberadaanya karena ia adalah seorang bodoh. Seorang egois yang mengira beban
dunia kini terletak hanya dipundaknya saja. Seorang manja yang beranggapan
kesengsaraan yang bisa seseorang dapatkan dalam hidup ia dapat semua.
Seseorang yang patut dikasihani. Dan itu karena apa yang ia rasakan, apa
yang ia anggap ia punyai. Sekalipun ada orang lain (atau makhluk lain) yang
mengalami kejadian yang sama.
Hatinya sakit, untuk kesekian kali. Namun, kali ini rasa sakit itu ia
terima dengan tangan terbuka. Memeluknya dengan hangat seperti ketika ia
memeluk Toothless kini. Naga itu mendengkur, menggerakkan diri, lalu kembali
melingkarkan lengan pada majikannya seperti ingin membalas pelukan itu.
Tetap diam dan tertidur lelap sekalipun isak kecil terdengar menggaung
juga titik-titik air turun mengaliri kulit naganya yang hitam legam.
Kaki dan sirip buatan bersentuhan. Membentuk kesempurnaan yang hanya
bisa disadari oleh para pemiliknya sendiri. Kesempurnaan yang hanya dapat
ditemukan ketika dua individu memutuskan untuk saling berpegangan tangan walau
kekurangan menghalangi.
Menjadi lengkap. Bersama.
Pagi kembali datang. Cicit burung terdengar dan membangunkannya ketika
sepasang mata unik tengah menatapnya dengan riang. Mata yang seperti siap untuk
kembali berpetualang.
Matanya sembab dan rasanya ada gelambir hitam menggelantung dibawahnya.
Ia usap mereka beberapa kali, sebelum menyapa Toothless yang mulai melompat-lompat
disekitarnya, seperti kelinci hiperaktif.
Ia basuh wajahnya dikolam air terdekat sebelum menaiki sebuah tebing
landai bersama Toothless. Mencari tempat yang tepat untuk mulai terbang.
Sebelum itu, matanya kembali mengarah ke makhluk hitam disampingnya, kemudian
tersenyum pelan.
“Terima kasih, Toothless.”
Untuk ‘menampar’nya dan mengembalikannya dari waktu bermuram durja yang
ia lakukan terlalu lama. Untuk penyadaran yang sangat simpel dan sederhana.
Untuk tetap bersamanya.
Untuk segala warna-warni kehidupan yang ia bagi dengannya.
Hari begitu cerah menawan. Semilir angin memberi salam. Seperti ritual
sebelum terbang, tangannya mengelus kepala Toothless penuh sayang. Hewan itu mendengkur
dalam, memberi balasan. Segera ia melompat dan mengepas kaitan.
Walau ia tidak langsung memberi aba-aba untuk terbang. Alih-alih, Hiccup
mulai berbisik dengan napas tertahan.
“Satu ditambah satu akan menghasilkan hal yang lebih besar dari dua.
Ingat itu, Toothless.”
Ya. Dan ia juga akan mengingatnya. Walau sekali waktu ia harus
membiarkan setitik-dua titik bulir mata mengaliri pipinya yang terbelah oleh
senyum lebar ketika menggaungkan kembali kalimat itu dalam kepalanya. Itu tidak
masalah, pikirnya. Bukan berarti kehilangan satu anggota badan akan
menghalanginya melakukan apa yang ia inginkan.
Bukan berarti kehilangan satu anggota penunjang akan menghalangi
Toothless untuk terbang. Mereka ada, bersama, dan mereka akan mengatasi
berbagai halangan yang muncul karena satu ditambah satu kini hasilnya bukan
lagi hanya sekedar angka dua bagi mereka. Karena Hiccup dan Toothless bukan
lagi sekedar dua individu yang berbeda.
Hati tidak perlu diperlihatkan koneksinya secara fisik. Cukup dengan
kerlingan mata, dan anggukan kepala. Lalu, saat itu jualah mereka akan terbang
bersama, seperti seorang sempurna yang akan segera melihat nirvana berkembang
diatas sana dan menyentuhnya dengan perasaan yang melampaui kata lega.
Lengkap bersama.
End
A fanwork for How to Train Your Dragon.
Samarinda, February 5th
2012